Dorong Keterbukaan Informasi Publik di Sektor Hutan dan Lahan

image

PONTIANAK – Organisasi masyarakat sipil (CSO) menilai pengelolaan hutan dan lahan di Kalimantan masih dilakukan secara tertutup. Bahkan, belum ada informasi penting yang dapat diakses publik di balik pengelolaan berbasis hutan dan lahan. Guna menjawab tantangan tersebut, JARI Borneo Barat bersama Komisi Informasi Provinsi Kalbar menggelar pertemuan para pihak di Pontianak, 17-18 April 2018. Mereka menggagas pentingnya keterbukaan informasi publik di sektor unggulan itu. Agenda utama pertemuan yang didukung oleh The Asia Foundation ini adalah membangun kesepakatan aksi bersama dalam mendorong keterbukaan informasi di sektor hutan dan lahan.

Tidak kurang dari 11 CSO se-Kalimantan hadir. Mereka adalah Yayasan Bumi Kaltim, Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Perkumpulan Lintas Hijau Nunukan Kaltara, Yayasan Pionir Bulungan Kaltara, JARI Kalteng, Lembaga Pusat Pendidikan Advokasi Masyarakat Sipil Kalsel, Lembaga Gemawan Kalbar, PBHK Kalbar, WALHI Kalbar, Yayasan TITIAN Kalbar, dan JARI Borneo Barat. Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan JARI Borneo Barat Abu Mas’ud mengatakan, pertemuan tersebut beranjak dari kekhawatiran bahwa tingginya deforestasi dan degradasi lahan diakibatkan pula ketertutupan informasi publik. “Ketertutupan informasi dapat memunculkan potensi kecurangan dalam pengelolaan hutan dan lahan, konflik sosial, akibat ketidaktahuan masyarakat atas status lahan, dan banyak hal lainnya yang mengganggu jalannya pemerintahan daerah,” katanya di Pontianak, Rabu (18/4/2018).

Menurut Abu, cukup banyak kajian yang menunjukkan ancaman degradasi dan deforestasi akibat ketertutupan informasi. Misalnya, hasil riset Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) 2015, menunjukkan bahwa sektor lahan dan SDA cenderung tertutup. Bahkan, hasil studi tersebut menunjukkan adanya relasi antara ketertutupan dan deforestasi. Temuan tersebut tentunya merupakan ancaman terhadap pertumbuhan daerah, khususnya Kalimantan yang masih mengandalkan sektor lahan dan hutan sebagai komoditas unggulan. Abu menjelaskan, beberapa permasalahan ketertutupan yang terjadi di tiap daerah. Hal ini diakibatkan belum kuatnya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) secara kelembagaan. Kondisi ini menjadikan fungsi PPID pada badan-badan publik dalam pelayanan informasi publik merangkak setengah hati. Apalagi, penganggaran Komisi Informasi Provinsi yang masih bergantung pada APBD dan keinginan pemerintah daerah setempat, serta ketidaktahuan masyarakat terhadap hak atas informasi yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. “Belum terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Utara merupakan ancaman terhadap hak masyarakat atas informasi publik,” ungkap Abu.

Mengacu pada permasalahan tersebut, Abu Mas’ud menekankan kaukus CSO se-Kalimantan yang menyepakati lima hal yang akan menjadi agenda bersama. Kelima kaukus dimaksud adalah mendorong pemerintah daerah dalam memperkuat fungsi PPID melalui dukungan penganggaran dan mekanisme pelayanan informasi yang murah, sederhana, dan cepat. Selain itu, kata Abu, kita mendorong regulasi di tingkat daerah dan nasional yang mengakomodir surat edaran informasi publik yang dikeluarkan oleh Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat, memperkuat pemahaman masyarakat untuk memahami fungsi lingkungan dan pentingnya informasi publik dalam pengelolaan dan pelestarian hutan dan lahan. Hal lain yang tak luptu dari sasaran perhatian CSO adalah menguatkan peran Komisi Informasi dalam mendorong keterbukaan informasi di tingkat lokal, dan mempercepat proses terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Utara. (R-1)

- Sumber Tribun Pontianak