Pangkas Anggaran Kementerian, Jokowi Mencoba Hemat Triliunan Rupiah

image

"Untuk kedua kalinya pemerintahan Presiden Joko Widodo memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga demi efisiensi. Dengan pemangkasan ini, pemerintah mengklaim dapat menghemat hingga triliunan rupiah."

Yang dipangkas adalah anggaran belanja kementerian dan lembaga yang dinilai tidak efisien, seperti anggaran untuk perjalanan dinas dan rapat kerja, serta barang dan jasa yang dinilai tidak memiliki dampak ekonomi berlipat.

Beban anggaran ini nantinya akan dialihkan untuk pembangunan infrastruktur,

Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, berkata hingga saat ini pemerintah masih mengkaji penghematan apa saja yang dapat dilakukan kementerian dan lembaga.

"Bentuknya masih harus direview dulu kemudian keputusannya nanti akan ditetapkan pemerintah," kata Askolani.

Menurut Yenny Sucipto, pengamat anggaran dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pemerintah terpaksa memangkas anggaran karena penerimaan negara lewat pajak kembali tidak mencapai target. Menurutnya, hal ini disebabkan karena pemerintah gagal menetapkan prioritas penerimaan pajak.

"Saya contohkan, setiap tahun kita kehilangan pajak dari minerba. Antara Rp130 triliun hingga Rp150 triliun. Tetapi tidak ada perlakuan ke arah sana. Yang kedua berbicara soal illicit flow (pengelakan pajak) tidak ada perlakuan mengarah ke sana. Padahal illicit flow per tahunnya itu di angka Rp110 triliun.

"Kemudian ada perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, 60% tidak pernah membayar pajak. Nah itu kan yang dapat menjadi kontribusi kepada negara namun tidak diberikan perlakuan pajak," kata Yenny.

Pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo, pun berkata besar kemungkinan penerimaan pajak 2017 hanya terealisasi sebesar 86%. Namun, menurutnya, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa pemangkasan dilakukan hanya karena penerimaan pajak tidak sesuai target.

"Anggaran disusun tiap tahun ini kan sering kali tidak efisien, lalu harus dipangkas di tahun berjalan karena perencanaan itu dari kementerian atau lembaga datangnya. Lalu ketika dikonsolidasikan ada beberapa hal yang tidak perlu dilakukan - cross cutting policy misalnya kan bisa dilakukan efisiensi", terang Yustinus.

"86% target yang kemungkinan tercapai itu kan totalnya cukup besar, Rp100an triliun. Artinya kalau hanya memangkas Rp30, Rp40 trilyun tidak signifikan, tidak terkait dengan penerimaan pajak."

Sebenarnya, isu penerimaan pajak yang rendah bukanlah isu baru. Hanya saja, baru di masa pemerintahan Jokowi hal ini diantisipasi dengan pemangkasan anggaran.

"Dalam pemerintahan SBY selalu ditutup dengan utang dari dulu. Ini kan mencoba mengurangi hutang, mencoba berkomitmen terhadap RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang ada, makanya mencoba strategi-strategi untuk memberikan kontribusi ke APBN", kata Yenny.

Bagaimanapun, Yenny menambahkan bahwa pemangkasan anggaran di tengah jalan mencerminkan perencanaan yang buruk.

"Kalau di dalam belanja barang, kami sangat setuju untuk dipertimbangkan proporsinya. Tetapi yang perlu diingat itu seharusnya disusun pada saat perencanaan. Kenapa kemudian perencanaan sudah mulai terealisasi, baru di tengah-tengah baru dipotong? Ini berarti perencanaannya yang buruk," kilah Yenny.

Yenny juga memaparkan bahwa belanja infrastruktur di masa pemerintahan Jokowi yang sudah mencapai Rp400an triliun tidak diimbangi dengan penerimaan yang seimbang.

"Mimpinya Jokowi ini kan besar di program dan proyek infrastruktur, tetapi tidak diimbangi dengan strategi penerimaan. Akhirnya di tengah jalan tergopoh-gopoh dan memangkas berbagai hal kemudian melakukan kontrak hutang dengan pemerintah asing untuk memenuhi itu", kata Yenny.

Namun, menurut Yustinus, belanja infrastruktur yang dilakukan lebih awal lah yang seakan membuat utang cukup besar.

"Utang itu sekarang direalisasikan lebih cepat. Sebenarnya ini kan karena kebijakan pemerintah yang melakukan pra-lelang lebih awal sehingga proyek-proyek itu bisa dijalankan lebih cepat dibanding masa sebelum Presiden Jokowi. Ini ada baiknya karena belanja negara itu jadi produktif", jelas Yustinus.

"Berbeda kalau selama ini belanja APBN itu dilakukan di triwulan 3, atau 4. Yang paradigmanya hanya menghabiskan anggaran. Sehingga tidak berorientasi pada output dan outcome."

"Sehingga kita terkesan di dua tahun, tiga tahun terakhir ini kita agak 'cekak' di tiga bulan pertama karena belanja kencang sementara penerimaannya stabil saja."

Ini adalah kali kedua pemerintah memangkas anggaran belanja, setelah sebelumnya pada 2016 pemerintah terpaksa merevisi anggaran belanja karena penerimaan pajak Rp219 triliun lebih rendah dari target.

Tahun lalu, anggaran 15 kementerian dipotong untuk dapat menghemat Rp64,7 triliun, dengan potongan terbesar di Kementerian Pertahanan sebesar Rp8 triliun disusul Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp7 triliun, dan Kementerian Pertanian sebesar Rp6 triliun.

Sumber: bbc.com